Minggu, 17 Juni 2012

Inilah Bima – “7 wonder”

Inilah cerita kedua dari beberapa bagian cerita mengenai Bima, tanah yang membesarkan saya, yang selalu membuat saya merasa pulang ke kampung halaman sendiri. Bima sebenarnya bernama Mbojo dalam sebutan masyarakat lokal. Kata Bima dan Mbojo tidak saling berhubungan. Saya tidak akan membahas asal muasal nama ini, karena saya terlalu sibuk memikirkan bagaimana meberitahu pembaca mengenai tujuh tempat yang wajib anda kunjungi kalau ‘tersesat’ di Bima. ketujuh spot ini menurut saya adalah keajaiban disana (setidaknya menurut fotografer amatir seperti saya)
Istana Kesultanan Bima (Asi Mbojo)

Belum ada bangunan yang semegah ini sebelumnya atau yang menyainginya sebelum kantor Walikota Bima yang lebih mirip masjid itu dibangun. Istana Bima sudah berdiri kokoh sejak selesai dibangun tahun 1929, persis ditengah jantung kota. Menghadap kearah utara dan barat. Lambang kekuasaan pemerintahan kesultanan Bima ini menjadi icon kota. Konon dirancang oleh arsitek dari Maluku dengan citarasa gabungan Bima dan Belanda.
Di depan istana berdiri pintu gerbang yang disebut “lalare” bersegi delapan, lambang filosofi Islam. Dulu pasti ada dua orang pengawal yang terus berjaga-jaga disitu. Sekarang, malah penjual es dan jajanan pasar saja yang ada-mungkin untuk menujukkan lebih pro ekonomi kerakyatan. Sebagai pencinta seni dan arsitek gagal, saya suka arsitektur Lalare ini… suatu saat saya ingin punya pondok dengan balkon yang mirip ini. Tentusaja yang menghadap kelaut, sunset atau sunrise, it’s Ok!
Pada bagian barat bangunan terdapat balkon-khas Eropa-yang menghadap ke “sarasuba”, alun-alun. Pastilah tempat sang Raja memberi titahnya, atau menyaksikan upacara U’a Pua yang konon dulu untuk merayakan Maulid Nabi diadakan semacam festival diarea alun-alun ini. Disini ada dua tiang bendera yang salahsatunya selalu kami gunakan sebagai “meeting point” bersama sahabat-sahabat lama. Saya lupa apa saja yang kami obrolkan disitu….karena terlalu banyak dan sudah sangat lama.
Di bagian pojok “Sarasuba” ada monumen buatan Belanda. Tempat masa kecil kami duduk-duduk melepas penat setelah puas main bola seharian. Cuma saat ini tidak bisa dilihat lagi, karena sudah berganti wajah menjadi monumen nggak jelas yang dibangun Pemda Indonesia.
Kembali ke istana, di dalam istana ada banyak kamar, buat sang Raja, permaisuri dan anak-anaknya. Namun bagian yang paling misterius bagi saya adalah tangga yang terletak dibelakang istana. Entah kenapa saya pernah memimpikan tangga ini berulang-ulang padahal saya belum pernah melihatnya langsung.
Pada suatu kesempatan kunjungan di tahun 2009 lalu akhirnya saya benar- benar melihat langsung fisik tangga yang sama persis dengan yang saya lihat dalam mimpi saya itu. Tiba-tiba saya merasa aneh dan kepada penjaga istana yang mengantar kami, saya minta berhenti sebentar untuk mengatur nafas. Raut wajah penjaga istana seketika terlihat aneh juga “ini adalah ruangan khusus……”. Belum sempat fine tuning, dia meneruskan penjelasannya, “dulu tempat ini digunakan Raja Bima memelihara para jin..” hah?!! Apaaaaa??????? peliharannya Jin??? “ruangan dipojok sana tempat mengasingkan para tahanan kerajaan” Hahh!!! (lagi) lanjutnya sambil mengajak saya untuk segera meninggalkan ruangan itu….. *tanpa pikir panjang, sayapun bergegas meninggalkan ruangan uji nyali itu. Tapi pertanyaan di benak saya masih tertinggal di depan tangga misterius ituuuuu…..hiiiii…….
Nanga Na’e, Wera

Ke arah utara sekitar dua jam kita akan melewati Wera, tempat saya pernah tinggal bersama Bapak ketika belum sekolah. Meski begitu saya masih bisa mengingat rumah panggung tempat kami tinggal, ayam jantan kesayangan saya, kerbau yang berendam dikubangan, suara petani membajak sawah dan pabrik padi tempat kami bermain. Perasaan saya seperti pulang ke kampung halaman saja…
Sebelumnya saya tidak pernah sejauh ini melewati Wera, hingga berhenti disatu bukit yang jika kita berdiri di atasnya, akan terlihat Gunung Merapi yang disebut Sangiang….pasti ada hubungannya dengan kata Sanghyang, karena sebelumnya masyarakat Bima mengenal Hindu.
Yah, inilah Nanga Na’E…perpaduan antara Gunung Sangiang, delta dan pantai yang tenang…anehnya, tidak ada yang menceritakan kepada saya tempat seindah ini sebelumnya. Saya membayar keheranan saya dengan membuatkan satu lagu buat Nanga Na’E…(akan dishare menyusul ya)
Toro Wamba, Sape

Terus berkendara kearah timur, sebelum langit benar-benar gelap…bebukitan hijau seperti padang golf menemani disisi kiri dan kanan. Dari atas bukit terlihat pulau kecil, tidak dihuni manusia melainkan habitat ular! Hah, ular? Yah….benar-benar ular, bukan ular siluman, tapi ular jinak. Entah bagaimana para ular bisa berkumpul dan membentuk komunitas di pulau kecil itu.
Lepas dari situ, kita akan menemukan pantai yang komposisinya pasti disukai oleh semua fotographer kelas apapun. Masih dengan point of interest Gunung Sangiang, ditambah pulau kecil didepan pantai dan lekukan pasir putih yang menawan. Satu-satunya yang tidak menawan adalah jalan masuknya yang berdebu, cottage yang ditinggal bangkrut oleh pemiliknya dan dominasi tambak udang yang mengganggu mood fotografer (bahkan yang amatir seperti saya)
Yah…, inilah Torowamba! pemandangan yng sangat tidak kalah dengan Nusa Dua Bali. Saran saya, habiskan sore disini dan nikmati semua warna yang diberikanNYA! Cahaya biru, jingga dan ungu akan datang bermain diatas bubungan pulau menemani matahari yang lambat laun turun di balik bukit…sementara itu para pencari kerang lautpun berangsur pulang….
Bajo Pulo
<img
Inilah Pulau impian saya….waktu SMA saya pernah diajak Bapak mengunjungi pulau yang dihuni suku Bajo ini. bayangan saya waktu itu seperti datang kesuatu daerah lain. Selain karena bahasa mereka tidak menggunakan Bahasa Bima, pulau-pulau kecil-lebih layak disebut bukit yang dilewati sepanjang perjalanan seperti masuk ke dalam "the lost island"-Film TVRI jadul.
Dulu masih bisa ditemui penyu sisik yang sengaja ditangkar disini, tapi sekarang sudah berganti dengan kursi sova atau TV dari hasil barter dengan uang dan menjadi perabotan baru. Memang penangkarannya bukan untuk kepentingan pelestarian, melainkan ekonomi. Bukan hanya penyu yang habis, kawasan terumbu karang juga tidak ketinggalan disikat! Berita mengenai bom ikan di perairan ini sudah terkenal sejak Bapak saya bertugas disini sebagai DANRAMIL. Saya ingat hampir setiap liburan ke Sape selalu ada kasus pengeboman ikan. Mirip teroris sekarang, tapi mereka meneror terumbu karang dan biota laut yang tak berdosa. Masih untung mereka belum gila untuk ngebom pulau ini! karena saya masih melihat Bajo Pulo ditempatnya, namun pasti tak selengkap dulu lagi…
Tidak sampai 10 menit dengan perahu motor nelayan yang kami tumpangi merapat di Bajo Pulo timur. Saya melihat jejeran batu karang berbentuk aneka satwa, ada yang mirip kucing, singa bahkan barongsai. Sepanjang pantai, pasir putih dan biru toska khas laut indonesia menyambut dengan bahasa yang sama…..keindahan Indonesia! Struktur bebatuan karang di Bajo Pulo memang unik, saya menghabiskan ratusan frame untuk memotrenya dari berbagai sisi. Karena masih jarang dikunjungi manusia, datang kesini serasa menjadi yang punya pulau…..
Ironisnya, pulau seindah ini tidak menarik perhatian pemerintah untuk dikelola sebagai aset wisata…entah apa halangannya-kasitau dong biar kita bantu… Yang lebih menyakitkan hati lagi adalah kondisi masyarakat disana tidak seindah pulaunya. Masih ada rumah-rumah panggung kumuh seperti bekas kerusuhan. Sarana air bersih rasanya kalimat langka bagi mereka. Kalausaja Pulau ini di pindahkan ke Bali atau ke Singapore deh sekalian, pasti sudah menjadi "Maldives in Singapore". Saya yakin, suara pemilih disini tidak significant sebagai alat Pilkada. Siapa yang mau masang baliho disini? (bersambung…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar