Ribuan  buku tersebut tersusun berjajar di dalam rak-rak tinggi yang hampir  mencapai langit-langit di dinding lantai satu rumah pribadi Bung Hatta  di Jalan Diponegoro 57, Jakarta Pusat. Ratusan lainnya memenuhi beberapa  lemari kaca di ruang kerja Bung Hatta di lantai dasar rumah. Beberapa  buku tampak ditutupi debu dan ada pula yang lembaran-lembarannya  terkikis ngengat kertas.  Seperti  tertulis di dalam buku memoarnya yang diterbitkan ulang tahun 2002,  Bung Hatta telah mulai mengoleksi buku sejak ia masuk sekolah dagang  menengah Prins Hendrik School (PHS) di Betawi tahun 1919. Ketika itu ia  diajak pamannya, Mak Etek Ayub, singgah di sebuah toko buku antiquariat  di daerah Harmoni. Mak Etek Ayub menunjukkan kepada Hatta beberapa buku  yang dianggapnya penting untuk dibaca. Buku-buku tersebut adalah  Staathuishoudkunde (Ekonomi Negara) dua jilid karya NG Pierson, De  Socialisten (Kaum Sosialis) enam jilid yang ditulis HP Quack, serta  karya Bellamy berjudul Het Jaar 2000 (Tahun 2000). Menurut Hatta,  "Inilah buku-buku yang bermula kumiliki yang menjadi dasar  perpustakaanku."  Setelah  memperoleh buku- buku itu, Hatta memilih menekuni buku-bukunya  ketimbang berjalan-jalan melihat kota Betawi. Bulan-bulan awal  bersekolah di Betawi, ia telah tiga kali membaca buku Bellamy. Sementara  itu, De Socialisten jilid pertama, yang menguraikan sejarah sosialisme,  telah selesai dilahapnya saat tahun pertama sekolah di PHS berakhir.  Kegandrungan  kepada buku diperlihatkannya dengan membawa pulang 16 peti berisi buku-  buku dan hanya satu koper pakaian saat tiba di Pelabuhan Tanjung Priok  setelah 11 tahun tinggal di Belanda. Begitu banyak jumlah buku yang  dibawa pulang membuat Hatta harus menghabiskan waktu selama tiga hari  hanya untuk menyusun buku-buku itu di tempat tinggal barunya di Batavia  pada tahun 1932.  Kerepotan  yang sama juga dialaminya ketika ia dibuang ke Boven Digul pada 1935.  Untuk mengepak buku-bukunya, Hatta juga memerlukan waktu tiga hari dan  saat tiba di Digul, ia harus menyewa tenaga beberapa penduduk asli guna  mengangkut ke-16 petinya itu dari Tanah Merah ke rumah pembuangan.
 Tema-tema buku  di perpustakaan pribadi Hatta mencakup banyak bidang, mulai dari  filsafat, ideologi, politik, ekonomi, biografi, arsitektur, sastra,  pariwisata, berbagai majalah dan jurnal, serta ensiklopedia. Menurut  putri bungsunya, Halida Hatta, Bung Hatta membaca dan mempelajari hampir  semua aliran ataupun pandangan, mulai dari kapitalisme, sosialisme,  komunisme, maupun Islam. "Itu menjadi kekuatan Bung Hatta untuk  mengetahui seluk-beluk apakah sebuah aliran atau ideologi cocok untuk  diterapkan di Indonesia atau tidak, dan seberapa jauh eksesnya bagi  bangsa," tutur Halida sambil menunjuk sebuah rak yang dipenuhi buku  komunisme.  Di deretan rak  tersebut berjajar 43 buku dengan sampul depan bergambar wajah Marx-  Engels-Lenin-Stalin. Di salah satu buku berbahasa Jerman tersebut bagian  depannya tercetak tulisan Bucherei Des Marxismus- Leninismus Band 43  (Buku-buku Marxismus-Leninismus Jilid 43) dengan judul J.W. Stalin, Uber  Den Kampf Um Den Frieden, Eine Sammlung ausgewählter Aufsätze und Reden  Besorgt von Marx-Engels- Lenin-Stalin-Institut pada ZK der SED (J.W.  Stalin, Tentang Perang Merebut Perdamaian, Kumpulan Esai- esai Terpilih  dan Pidato yang disusun oleh Institut Marx- Engels-Lenin-Stalin pada ZK  SED). Seri buku Marxis-Leninis itu terbit di Berlin tahun 1954.  Di  deretan bawahnya berjajar buku seri tentang komunisme juga, tetapi pada  bagian depannya tidak tercetak gambar wajah tokoh-tokoh komunis, hanya  diselubungi sampul warna merah dengan jilid tidak berurutan dari satu  hingga yang terakhir jilid 52. Salah satu buku itu berjudul  Lenin-Stalin, Zu Fragen Der Landwirtschaft, Eine Sammlung ausgewählter  Aufsätze und Reden, Bucherei Des Marxismus-Leninismus Band 47, Dietz  Verlag Berlin 1955 (Lenin-Stalin, Mengenai Masalah-masalah Ekonomi  Pertanian, Kumpulan Esai dan Pidato Pilihan, Perbukuan  Marxismus-Leninismus Jilid 47, Penerbit Dietz, Berlin 1955). Di  lembaran-lembaran awal buku ini masih tampak tarikan garis dengan pensil  di bawah beberapa kalimat yang barangkali dianggap penting oleh Hatta  saat membacanya.  Agak ke  atas segera terbaca kumpulan surat Marx dan Engels yang dihimpun ke  dalam buku setebal 623 halaman berjudul Marx-Engels Selected  Correspondence, Foreign Language Publishing House, Moscow dan buku lain  bergambar wajah Trotsky, salah seorang intelektual Marxist dari Uni  Soviet sekaligus pendiri dan pemimpin Tentara Merah, dengan judul The  First Five Years of The Communist International by Leon Trotsky, In Two  Volumes, dari penerbit Pioneer di New York dengan tahun terbit 1945.  Persoalan-persoalan  ekonomi diketahui menjadi perhatian Hatta sejak muda. Oleh karena itu,  koleksi buku-buku ekonominya juga tidak sedikit, mulai dari aliran  ekonomi liberal hingga ekonomi sosialis. Beberapa di antaranya adalah  The Principles of Political Economy and Taxation karya David Ricardo,  terbitan JM Dent & Sons, London tahun 1926, atau The Capitalist  Manifesto, oleh Louis O Kelso & Mortimer J Adler, terbitan Random  House, New York, tahun 1958. Buku ini memaparkan tentang distribusi  kekayaan melalui cara-cara kapitalistik untuk mencapai revolusi  demokratis. Belum lagi koleksi jurnal berbahasa Belanda, De Economist,  sejak tahun 1853 hingga 1968. Selain itu, Hatta juga memiliki buku karya  seorang tokoh Partai Komunis Indonesia, Semaun, tentang ekonomi yang  berjudul Tenaga Manusia: Postulat Teori Ekonomi Terpimpin, dikeluarkan  Penerbit Universitas tahun 1961.  Di  antara buku-buku tentang ekonomi, terselip sebuah buku tipis dengan  sampul tebal berwarna hijau. Rupanya itu adalah sebuah kamus khusus  mengenai tanaman karet, Kamus Karet Bergambar oleh SM Latif, Balai  Penjelidikan dan Pemakaian Karet, Bogor, 1956. Di dalam kamus ini  tercantum segala sesuatu mengenai tanaman perkebunan yang saat itu  menjadi komoditas ekspor utama Indonesia. Selain penjelasan tentang  pohon karet, juga tercantum grafik jumlah produksi dan konsumsi serta  harga karet tahunan rata-rata di negeri ini sejak tahun 1900 hingga  1955.  Tidak hanya ekonomi  dan politik, karya-karya sastra juga menjadi koleksi perpustakaan Hatta.  Tak kurang dari Gitanjali (Song Offerings) karya Rabindranath Tagore,  pemenang Nobel Sastra dari India, dengan kata pengantar dari WB Yeats,  terbitan London tahun 1946 dan Collected Poems and Plays of Rabindranath  Tagore memenuhi rak buku. Juga kumpulan karya sastrawan Eropa seperti  Goethes, Gesämtliche Werke in fünfundvierzig Bänden, Herausgegeben und  eingeleitet von Franz Gachulz (Karya Lengkap Goethe dalam Empat Puluh  Lima Jilid, diterbitkan dan diberi kata pengantar oleh Franz Gachulz).  Tak ketinggalan pula karya penting sastrawan Rusia, Fjodor Dostoevsky,  Die Brüder Karamazoff (Karamazoff Bersaudara) terselip di antara  buku-buku lain.  Buku  terbitan akhir abad ke-19 pun dikoleksi oleh Hatta di perpustakaannya.  Salah satunya adalah sebuah buku dengan ukuran lebih besar dibanding  buku lainnya yang berjudul Beschrijving van Den Atjeh-Oorlog Met  Gebruikmaking Der Officieele Bronnen, Door Het Departement van Kolonien  Daartoe Afgestaan, Samengesteld Door E.B. Kielstra Majoor de Genie van  het Nederlandsch-Indische leger, 1883 (Catatan-catatan Perang Aceh  dengan Memakai Sumber-sumber Resmi, sejauh yang bisa diperoleh dari  Departemen Tanah Jajahan, oleh E.B. Kielstra, Mayor Jeni Angkatan Perang  Hindia Belanda, 1883). Sayangnya, buku setebal 502 halaman dan bernilai  sejarah ini kertasnya sudah menguning serta dimakan ngengat sehingga  beberapa bagian terlepas tidak terjilid.
Harta Karun
Sebagai  perpustakaan pribadi, praktis setelah Bung Hatta tutup usia pada 14  Maret 1980 tidak ada lagi buku-buku baru yang disimpan di situ.  Perpustakaan ini menjadi semacam "museum pengetahuan". Ia menjadi sumber  dokumentasi sejarah dan manusia sekaligus "harta karun" yang diwariskan  oleh sang Proklamator. Begitu banyak jumlah dan beragamnya buku yang  tersimpan di situ menunjukkan keluasan pengetahuan sang empunya.  Sayangnya,  perpustakaan ini belum mendapatkan perlakuan layaknya sebuah  peninggalan sejarah. Meskipun terdapat katalog, buku-bukunya sendiri  belum diberi nomor dan kategorisasi seperti umumnya sebuah perpustakaan.  Diakui oleh Halida Hatta, "Kami belum sanggup menanggung biaya  mengelola perpustakaan ini. Sekarang ini seorang pustakawan mengajukan  harga Rp 10.000 untuk satu judul buku. Berapa puluh juta yang harus kami  keluarkan hanya untuk katalogisasinya?"  Jumlah  sebesar itu belum termasuk biaya pemeliharaan seperti pendingin ruangan  selama 24 jam dan obat antirayap. Sampai saat ini, pemeliharaan  maksimal yang dapat dilakukan adalah memberikan obat-obatan yang  terjangkau seperti kamper, merica, dan membersihkan debu secara manual  dengan mengangkat buku satu per satu.  Ketiga  putri Bung Hatta sendiri sebenarnya menginginkan "museum pengetahuan"  ini bisa dikelola dengan teknik pengarsipan modern agar banyak orang  bisa mengaksesnya tanpa harus membawa fisik buku keluar ruangan.  Pertimbangannya adalah karena banyak buku yang usianya sudah tua dan  secara fisik akan cepat rusak bila harus berkali-kali difotokopi.  Namun,  pengarsipan modern itu merupakan pekerjaan besar. Memang,  pendokumentasian harta peninggalan sang Proklamator ini seharusnya bukan  lagi menjadi urusan anak-anak Bung Hatta saja, melainkan juga merupakan  urusan para pejabat negara yang menyadari pentingnya arti arsip bagi  penelusuran sejarah bangsa. 
   
* Disunting dari Harian Kompas Edisi Pustakaloka 17 September 2007
* Disunting dari Harian Kompas Edisi Pustakaloka 17 September 2007

Tidak ada komentar:
Posting Komentar